Selasa, 13 Januari 2009

Hidup Tetap Normal Dengan Satu Ginjal

Ketika seseorang divonis menderita gagal ginjal, maka ia harus menjalani terapi cuci darah (hemodialisis) seumur hidupnya dengan kompensasi biaya yang sangat mahal. Sebenarnya ada cara lain yang bisa dilakukan untuk mengganti fungsi organ ginjal, yakni dengan transplantasi ginjal. Sayangnya jumlah orang yang bersedia mendonasikan ginjalnya masih minim. Padahal dengan donor ginjal, pasien bisa terbebas dari terapi cuci darah dan pendonor akan tetap hidup normal meski dengan satu ginjal.

Menurut dr.David Manuputty, SpB, SpU (K), dari Tim Transplantasi Ginjal Rumah Sakit PGI Cikini, dari 70.000 jumlah pasien gagal ginjal di Indonesia, baru 500 pasien yang melakukan transplantasi ginjal. Sedikitnya jumlah pendonor dan belum memasyarakatnya donor ginjal menjadi penyebab rendahnya angka tersebut.

"Sejak tahun 1977 hingga 2006 ini baru ada 500 pasien yang melakukan cangkok ginjal, angka ini kecil sekali. Padahal masyarakat tidak perlu takut menjadi donor karena setiap orang bisa tetap hidup normal meski hanya dengan satu ginjal. Anggota TNI pun bisa tetap beraktivitas seperti biasa setelah mendonorkan ginjalnya," katanya di acara seminar Teknologi Transplantasi Ginjal di Jakarta (9/3).

Hidup dengan satu ginjal bagi masyarakat awam mungkin mengerikan. Padahal menurut David dari dua organ ginjal yang dimiliki, masing-masing tidak bekerja penuh. "Kita lahir dengan dua ginjal, tapi keduanya hanya bekerja setengah-setengah, jadi tidak ada yang berbeda ketika satu ginjal diambil," ujar dokter yang telah melakukan operasi cangkok ginjal sebanyak 400 kali ini.

Selain itu menurut David sisi ginjal yang akan diambil oleh dokter dari pendonor adalah ginjal yang paling jelek. "Misalnya jika ada kelainan dari saluran ureter ke salah satu ginjal, itu yang akan diambil. Pada intinya kami tidak mau menyebabkan si pendonor jadi sakit setelah ginjalnya diambil," ujarnya.

Anggota keluarga

Sebenarnya setiap orang bisa mendonasikan ginjalnya, namun menurut David dari 500 kasus transplantasi, sebanyak 233 pendonor merupakan kerabat dekat pasien dan 6 kasus donor dari istri kepada suaminya.

Dijelaskan oleh dr.Indrawati Sukadis, Koordinator Tim Transplantasi Ginjal Rumah Sakit PGI Cikini, tingkat keberhasilannya memang lebih tinggi jika cangkok donor berasal dari keluarga pasien. "Keberhasilannya sampai 90 persen. Pada umumnya jika ginjal berasal dari related donor (keluarga), ginjal akan bekerja baik di tubuh pasien,"paparnya.

Salah satu pasien cangkok ginjal yang berhasil adalah Evi Yulianti (37) seorang mantan pramugari Garuda. Ia mendapatkan donor ginjal dari adiknya Lidya (35) tahun 2002 lalu.

"Dokter memvonis fungsi ginjal saya tinggal enam persen, padahal ketika itu saya baru memiliki bayi berusia enam bulan. Untunglah adik saya dengan sukarela mendonorkan ginjalnya," tuturnya. Menurut Evi, sampai kini kesehatan ia maupun adiknya baik-baik saja tanpa keluhan. Bahkan Lidya langsung hamil beberapa bulan setelah mendonorkan ginjalnya.

Beruntung Evi mendapatkan penggantian biaya operasi yang mencapai ratusan juta rupiah itu. Diakui oleh Indrawati, selain ketiadaan donor, mahalnya biaya operasi menjadi kendala rendahnya angka pasien yang melakukan cangkok ginjal. Selain biaya operasi, pasien masih harus mengeluarkan biaya obat Rp 13 juta perbulan selama dua tahun pertama pasca operasi.

Menurut David, meski sudah melakukan operasi cangkok ginjal pasien masih harus meminum obat dan melakukan pemeriksaan ke rumah sakit setiap bulan. "Ginjal yang berasal dari pendonor adalah benda asing, sehingga tubuh membuat pertahanan. Karenanya harus dikontrol rutin dan perlu diberi obat agar penolakan-penolakan tubuh bisa dikurangi," paparnya.

Kesulitan biaya pula yang membuat Iin Sukarya (47) pasien gagal ginjal sejak tahun 1987 memilih melakukan cuci darah ketimbang operasi cangkok ginjal kendati seluruh keluarganya bersedia mendonorkan ginjalnya.

"Saya tidak punya biaya untuk operasi, padahal seluruh kakak dan adik saya sudah bersedia. Sekarang saya melakukan cuci darah dua kali seminggu di RSCM tanpa biaya karena saya pakai kartu Askes," kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai guru sekolah dasar itu.

Jika pasien bukan peserta Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin), maka biaya yang harus dikeluarkan untuk tiap kali cuci darah mencapai Rp 600.000. Padahal mereka harus menjalani cuci darah 2-3 tiga kali setiap minggu dan itu berlangsung seumur hidup untuk menghilangkan racun dari darah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar